Sabtu, 07 Mei 2011

Prof. Abdus Salam : Fisikawan Muslim Pertama Penerima Hadiah Nobel

PROF. ABDUS SALAM : FISIKAWAN MUSLIM PERTAMA PENERIMA HADIAH NOBEL

Abdus Salam
“Dunia merugi karena Abdus Salam hanya dapat hidup sekali.” Kalimat ini ditulis 20 tahun silam, oleh Newa Scientist (edisi 26 Agustus 1976), tiga tahun sebelum Salam memperoleh Nobel. New Scientist adalah majalah bereputasi tinggi yang diabadikan bagi sains dan teknologi, dan pengaruhnya bagi dunia dan kehidupan umat manusia. Demikian tulis Harian Kompas, Jumat 29 November 1996 dibawah judul : PROF ABDUS SALAM, HARGA DIRI SEORANG MUSLIM.
Yang membuat pernyataan itu keluar, adalah rasa hormat sekaligus keprihatinan pada Abdus Salam yang mesti pontang-panting bergerak dari satu dunia ke dunia lain yang sama-sama dicintainya. Abdus Salam adalah manusia yang hidup di tiga dunia: dunia fisika teori, dunia Islam, dan dunia kerja-sama internasional. Andai Abdus Salam dapat hidup beberapa kali, dan mengabdikan hidup-hidupnya itu secara total tanpa interupsi masing-masing pada fisika teori, Islam, dan kerja-sama internasional, seluruh dunia jelas akan mendapatkan keuntungan besar.
Sementara Harian REPUBLIKA edisi Minggu 24 November 1996 menulis dibawah judul: ABDUS SALAM, SATU DUTA, TIGA DUNIA
Dalam usia sangat muda (22 tahun) Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude di University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St.John’s College, Cambridge.
Salam adalah satu dari empat muslim yang pernah meraih Hadiah Nobel. Tiga lainnya adalah Presiden Mesir Anwar Sadat (Nobel Perdamaian 1978), Naguib Mahfoud (Nobel Sastra 1988), Presiden Palestina Yasser Arafat (bersama dua rekannya dari Israel, Nobel Perdamaian 1995).
Kiri, Abdus Salam bersama Pope II, kanan, Abdus Salam bersama Ratu Swedia
Penerima gelar Doktor Sains Honoris Causa dari 39 universitas/lembaga ilmiah dari seluruh dunia ini, yang sekali waktu pernah menyebut dirinya sebagai penerus ilmuwan muslim seribu tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu umat kini tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.
Harga diri itu, seperti yang telah dibuktikan oleh Salam sendiri bukan saja dapat mengangkat suatu masyarakat sejajar dengan masyarakat lain. Gerakan dan keikutsertaan mencipta sains teknologi akan memberikan kontribusi pada peningkatan harkat seluruh umat manusia, tanpa melihat agama dan asal-usul kebangsaannya. Itulah rahmatan lil alaamin.
Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini. Yaitu, gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif. Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda.
Kiri, perangko bergambar Abdus Salam yang diterbitkan oleh Pakistan, kanan, Medali Abdus Salam yang diberikan kepada Ilmuwan yang berjasa bagi dunia ketiga.
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Pakistan itu mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburgh (1971), Universitas Trieste (1979), Universitas Islamabad (1979), dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Prof.Abdus Salam, wafat Kamis 21 Nov 1996 di Oxford, Inggris, dalam usia 70 tahun dan meninggalkan seorang istri serta enam anak (dua laki-laki dan empat perempuan).
Susana saat pemakaman Abdus Salam di Rabwah tahun 1996
Salam sudah berangkat menuju Yang Maha Esa di usia 70 tahun. Ia dimakamkan di tanah air yang teramat sangat dicintainya,di kota Rabwah- Pakistan. Kita yang ditinggalkannya kini hanya dapat bertanya, benarkah kita juga punya rasa harga diri religius, seperti rasa harga diri yang menggerakkan tokoh yang teramat dihormati oleh komunitas sains internasional ini? Yang pasti, penerima gelar Doktor Sains Honoris Causa dari 39 universitas/lembaga ilmiah dari seluruh dunia ini, yang sekali waktu pernah menyebut dirinya sebagai penerus ilmuwan muslim seribu tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu umat kini tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.
(dari berbagai sumber,170607/14.52)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar